Sabtu, 25 Juli 2009

lawas soal korupsi, perusakan lingkungan dan penjarahan besar-besaran yang dilakukan PT Freeport, sebuah perusahaan pertambangan asing, Ini.

Yogyakarta-(Ligapapua.post)- Heboh masalah Freeport beberapa hari terakhir, maka tak ada salahnya membaca

hasil wawancara pak Amien Rais dibawah ini. Semoga membuka "darah nasionalisme"

kita. Selamatkan Bangsamu atau memilih menjadi Bangsa Yang Tenggelam .....


Tak ada yang berubah dari sosok Amien Rais. Penampilannya yang sederhana, dan

keberaniannya dalam mengeritik penguasa, masih tetap melekat pada tokoh

reformasi ini. Urusan mengeritik penguasa, Amien tak main-main. Belakangan,

lelaki kelahiran Surakarta, 26 April 1944 ini, kembali melakukan gebrakan. Isu

Dulu pada tahun 90-an, kritiknya soal Freeport menyebabkan ia 'ditendang' dari

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) oleh Suharto. Mengangkat isu ini

menurut Amien, ibarat membentur tembok tebal.


Banyak pihak yang terlibat, terutama para pejabat bangsa ini dan kepentingan

asing. Kepada wartawan SABILI Artawijaya dan Rivai Hutapea, mantan Ketua MPR-RI

ini bicara blak-blakan soal Freeport. Berikut wawancara lengkapnya yang

berlangsung di pendopo dekat rumahnya di Condong Catur, Yogyakarta, pada Selasa

(31/01).

Apa yang melatarbelakangi Anda kembali berteriak lantang soal Freeport?

Jadi pada awal reformasi saya betul-betul tidak bisa menerima sebagai anak

bangsa, sebagai umat, melihat kelakuan investor asing yang mengeksploitasi

kekayaan alam kita lewat industri pertambangan secara sangat ugal-ugalan, sangat

tidak masuk akal.


Malah waktu itu saya berhasil menguak pertambangan Busang, yang mestinya akan

dibuka di Kalimantan, kemudian andaikata penipuan Busang itu menjadi kenyataan,

maka mereka bisa menjual saham di New York dengan harga yang aduhai. Sementara

sesungguhnya Busang itu pepesan kosong belaka.


Kemudian setelah saya dengan izin Allah, berhasil membongkar kebohongan Busang

itu, saya mengarahkan bidikan saya ke kejahatan yang dilakukan oleh PT Freeport

McMoran disekitar Timika. Saya mendasarkan kritik saya bukan hanya kata si Fulan

dan si Fulanah, atau berdasarkan qaala wa qiila, tetapi saya memang datang

sendiri ke pertambangan Freeport itu. Bahkan saya sempat menginap disana dan

saya relatif sudah menjelajahi selama setengah hari keadaan pertambangan itu.


Sebagai seorang anak bangsa saya betul-betul tidak bisa menerima bahwa ada

wilayah kita yang diacak-acak oleh perusahaan Amerika secara sangat menghina,

karena sebuah gunung sudah lenyap menjadi danau yang sangat jelek. Kemudian

entah berapa luasnya tanah sekitar pertambangan sudah rusak total. Saya juga

melihat dengan mata kepala ada pipa besar yang dipasang dari pusat pertambangan

di Grasberg disekitar Tembaga Pura itu turun kebawah sepanjang seratus kilometer

sampai ke tepi laut Arafura.


Kemudian ternyata pipa itu untuk menggotong concentrate atau biji tambang emas,

perak dan tembaga yang kita tidak pernah tahu volume atau jumlahnya. Apalagi

saya diberi tahu bahwa jelas kali Freeport itu menggelapkan pembayaran pajaknya.


Begitu saya mengungkap kenyataan ini sebagai sebuah kenyataan yang bertentangan

dengan UUD 45, maka dua minggu kemudian (tahun 1993, red) saya ditendang dari

ICMI oleh pak Harto. Setelah itu nampaknya Freeport sebentar melakukan

konsolidasi, tidak begitu mencolok mata, bahkan lantas satu persen dari

keuntungannya, katanya diberikan kepada masyarakat sekitar. Tapi yang dikerjakan

Freepor makin gila, yaitu ada pelipatan wilayah yang dieksploitasi dengan izin

pemerintah. Kemudian juga jumlah biji tambang yang diangkut ke luar lebih banyak

lagi.


Selama saya jadi Ketua MPR hal ini tidak pernah saya pantau. Saya pernah dibujuk

oleh James Moffett pada musim panas tahun 1997 waktu saya ada di Washington. Dia

terbang ke New Orleans, dan mengiming-imingi saya. Kata dia, kalau mau saya akan

diantar naik helicopter untuk tour ke daerah pertambangan Freeport, dan saya

akan diberi keterangan bahwa Freeport tidak merusak ekologi atau lingkungan

kita.


Kemudian pada saat bersamaan saya di New York ketemu dengan Henry Kissinger.

Ternyata dia salah satu Komisaris, dan dia dengan diplomasinya mengatakan,

"Kalau Anda melihat penyelewengan hukum, maka beri tahu saya. Saya akan

mengambil langkah koreksi." Tetapi semua itu tentu saja hanya sandiwara, karena

yang terjadi penjarahan Freeport makin gila menjarah kekayaan kita. Karena itu

dengan Bismillah, nawaitu yang ikhlas, bukan niat oposisi pada pemerintah, mari

kita bersama-sama membongkar kejahatan di Freeport ini.


Telah terjadi korupsi yang maha dahsyat di dunia pertambangan?

Korupsi itu diartikan sebagai tindakan yang merugikan negara lewat

penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang. Jadi korupsi yang dimengerti oleh KPK

dan kita semua sudah betul, yaitu penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan

pribadi dan merugikan negara. Yang terjadi di Freeport itu memenuhi kriteria itu

secara sangat telak.


Negara dirugikan dalam jumlah ratusan atau saya yakin ribuan triliun sejak akhir

tahun 60-an. Anda bayangkan, sebuah gunung lenyap, kemudian sudah dihitung bahwa

volume ampas pertambangan, tailing, tanah, batu kerikil yang terbuang itu sama

dengan dua kali kerukan terusan Panama, sekitar 6 miliar ton. Ini sebuah

penghinaan nasional.


Saya yakin sekali, kalau Freeport sebagai perusahaan pertambangan babon bisa

kita benahi, maka yang kecil-kecil seperti Newmont Minahasa, Newmont NTB,

perusahaan Gas Tangguh, dan lain-lain akan lebih bisa diperbaiki karena si babon

itu telah lebih dahulu dibenahi. Kalo yang babon ini tetap dibiarkan

mengacak-acak kekayaan alam kita, bahkan melakukan penghinaan nasional, maka

saya khawatir orang asing akan mencibir kita bahwa pemerintah kita masih seperti

dulu, masih bermental inlander, tidak berani mengangkat kepala terhadap asing.

Ini tentu meyedihkan sekali. Jadi korupsi maha dahsyat ini harus kita lawan.


Korupsi dahsyat ini tertutup dengan gencarnya pemerintah mengusut korupsi kelas

ecek-ecek?


Jadi ramenya pemerintah memberantas korupsi kecil-kecil, yang ratusan juta, yang

puluhan juta, sesungguhnya untuk menyembunyikan yang besar-besar. Jadi rakyat

kita ini dibodohi oleh pemerintah kita sendiri. Dan memang rakyat kita sudah

terkecoh, seolah-olah pemerintah sudah hebat dalam memberantas korupsi. Setelah

15 bulan berkuasa, menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC)

lagi-lagi kita tetap nomor satu dalam korupsi di kawasan Asia ini.


Artinya, korupsi sejati masih tetap berlangsung. Sekarang yang dikejar-kejar

hanya korupsi kecil-kecilan, sehingga media massa juga terkecoh, seolah-olah

telah terjadi penanganan korupsi secara massif dan sungguh-sungguh. Padahal yang

terjadi kucing-kucingan.


Anda pernah mengatakan korupsi di Freeport ini G to G (Goverment to Goverment).

Bisa dijelaskan?


Memang ada pembiaran dari pemerintah kita terhadap bisnis yang juga melibatkan

pemerintah asing, yang jelas-jelas merusak. Seperti diungkapkan oleh The New

York Times, kemudian dimuat secara utuh di The International Herald Tribun

tanggal 28-29 Desember 2005. Memang yang mengamankan penjarahan kekayaan bangsa

itu adalah aparat keamanan dan pertahanan kita.


Saya tidak mau menyebut nama, tetapi hitam diatas putih dikatakan ada seorang

mayor jenderal yang mendapatkan 150.000 US dollar dan ada seorang perwira tinggi

kepolisian dapat sekian ratus ribu dollar.


Kemudian ada kolonel, mayor, kapten dan prajurit lain dapat amplop dari Freeport

untuk mengamankan supaya orang tidak bisa masuk dan mengetahui hakikat kejahatan

Freeport itu. Malah ada bukti otentik, sejak tahun 1996 sampai tahun 2004,

Freeport mengeluarkan biaya pengamanan 20 juta US dollar yang dibagi ke lembaga.

Ini dibayarkan kepada aparat keamanan kita untuk melindungi Freeport yang zalim

itu untuk mengeruk kekayaan kita. Ini yang saya heran kenapa kok dibiarkan.


Pemerintah terkesan tunduk pada kepentingan asing?


Ya, memang ada kepentingan asing yang sangat menghina di Freeport ini. Ada dua

jenis negara berkembang dalam menghadapi korporatokrasi yang cenderung maling

atau klepto.


Saya setuju dengan Jhon Perkins bahwa korporatokrasi itu ada tiga pilar, yaitu:

Big coorporation, Goverment dan International Bank. Tiga elemen ini berpacu

untuk melakukan pengurasan kekayaan dunia ketiga. Nah, disini ada negeri-negeri

yang berani mengangkat kepala dan berani mengatakan No! Terhadap korporatokrasi

itu, seperti Thailand, India, RRC, Malaysia.


Kita termasuk negeri yang walaupun tidak mengatakan Yes! Tapi tidak pernah

mengatakan No! Sehingga begitu enaknya pihak asing menjamah kekayaan negeri

kita. Saya pernah ceramah di Melbourne, saya bertanya kepada perusahaan

penambangan Australia, apakah salah saya sebagai orang Indonesia itu mematok

bahwa dalam kontrak karya itu royalti yang kita terima itu bukan 15 persen, tapi

50 persen.


Mereka mengatakan tidak ada yang salah dengan pendapat itu karena semua

tergantung dengan perjanjian. Tapi mengapa kita diam saja diberi 15 persen,

itupun saya yakin sekali pembukuannya sudah tidak betul, karena kita tidak tahu

apa yang terjadi disana.


Apakah SDM kita sudah mampu mengelola pertambangan, jika kita harus lepas dari

Freeport?


Ada wartawan yang mengatakan, pak Amien, bukankah kita sudah diuntungkan, karena

mereka punya keahlian, mereka bawa mesin, mereka bawa uang, kemudian kekayaan

kita dikeruk, kita dapat 15 persen, ini kan sudah lumayan. Saya katakan, kalau

begitu apa bedanya dengan zaman penjajahan. Penjajah itu datang bawa mesin, bawa

keahlian, bawa modal, kemudian kekayaan kita digotong, yang disisakan hanya

untuk pantes-pantesan saja.


Sekarang kita sudah 60 tahun merdeka, sehingga Insya Allah sudah punya keahlian.

Banyak lulusan dari ITB, UGM dan lain-lain yang mengatakan bahwa Freeport itu

adalah pertambangan terbuka, tidak usah menggali perut bumi, tetapi hanya

memecah batu-batuan, lantas digerus dijadikan biji tambang, kemudian jadi

concentrate, kemudian menjadi batangan emas. Ini sangat mudah. Kata mereka, otak

Indonesia itu lebih mampu, mengapa diberikan kepada Freeport.

Pemerintah kita tidak pernah mempersoalkan aspek pelanggaran yang dilakukan oleh

Freeport, terutama soal dampak lingkungan?


Saya kembali pada teori hukum yang elementer. Dalam dunia moral dan hukum itu

ada dua macam dosa dan kejahatan: Pertama, sin of crime of commission (Melakukan

perbuatan dosa atau jahat). Kedua, sin of crime of ommision (Dosa membiarkan

kejahatan).


Jadi kalau pemerintah kita di depan matanya berlangsung kejahatan yang dilakukan

oleh pihak asing, tetapi diam saja, malah memberikan peluang untuk

berlangsungnya kejahatan itu, maka pemerintah kita telah melakukan kejahatan

atau dosa membiarkan sebuah kejahatan berlangsung terus menerus. Jadi kalau saya

melihat seorang perampok melakukan perampokan lalu saya diam saja, maka saya

termasuk melakukan kejahatan ommisi, karena nggak berbuat apa-apa.


Saya khawatir pemerintah kita dari masa ke masa kalau terus menjadi pemerintah

komprador, yang meladeni kepentingan asing yang merugikan bangsa, maka

pemerintah itu telah melakukan kejahatan. Disadari atau tidak.


Kalau begitu, membongkar Freeport sama dengan mengembalikan martabat bangsa?


Betul! Ini masalah bangsa Indonesia. Jadi saya menggelindingkan masalah besar

ini dalam rangka save the nation, menyelamatkan bangsa dan masa depan bangsa.

Saya tidak ada kepikiran isu ini menjadi gerakan politik yang remeh temeh,

apalagi ada dagang sapi. Itu selain lucu, terhina. Ini adalah proyek besar

menyelamatkan bangsa.


Seberapa parah imprealisme yang terjadi dalam kasus Freeport dan lainnya saat

ini?


Saya kira cukup parah. Karena imprealisme itu berujung pada sebuah bangsa

kehilangan kedaulatan dan kebebasannya untuk membangun dirinya sendiri tanpa

bantuan asing. Sekarang ini kita mengetahui bahwa kita kehilangan kedaulatan

kita. Untuk memecahkan masalah ekonomi nasional, kita pernah mendatangkan

'dukun' IMF. Sekarangpun utang kita sudah menjerat kita.


Sekarang pun di kabinet itu sesungguhnya kembali di zaman IMF. Karena menteri

keuangannya, menteri perdagangan dan Meno Ekuinnya itu orang-orang yang

berorientasi pada IMF. Kemudian juga lihatlah, kita ini tidak berani mengangkat

kepala menuruti kemauan WTO (World Trade Organization, red). Orang Jepang, orang

Perancis, Kanada, Amerika, itu petaninya dilindungi. Tapi disini petani kita

begitu tengkurap menghadapi WTO, sehingga apapun kata WTO kita kerjakan. Kita

ini jadi bangsa terjajah. Gula kita impor, disuruh impor paha ayam kita lakukan,

impor beras, naikan BBM dan lain-lain. Jadi sudah tidak ada kedaulatan lagi.


Sehingga kalau dibandingkan dengan pimpinan negara lain seperti Ahmadinejad yang

melawan Barat, Mahathir yang berani menegakan kepala terhadap Barat, atau

pemerintah Korea Utara yang juga demikian, India, Cina, atau negara-negara

Amerika Latinnya. Saat ini dibandingkan negara-negara tersebut, Indonesia

menjadi tontonan yang tidak lucu.


Negara yang sudah merdeka 60 tahun, tapi mentalitasnya masih seperti inlander.

Jadi mari kita kembali menjadi bangsa yang berdaulat, tanpa tekanan pihak

manapun.


Apakah ada kepentingan politik pribadi dibalik isu ini, misalnya modal Anda di

2009 nanti?


Pertanyaan Anda sudah banyak ditanyakan. Bahkan ada yang menyatakan, "Pak Amien,

Anda membedah soal Freeport ini secara sungguh-sungguh ini, hanya karena

menginginkan dana kampanye pilpres 2009 dari pak Ginandjar Kartasasmita?" Saya

gembira dengan komentar yang aneh-aneh ini. Tetapi kita diajarkan , kalau sudah

bertekad tinggal berserah diri pada Allah.


Kalau diperjalan ada pro-kontra, ada fitnah, itu sesuatu yang sangat biasa

sekali. Nabi yang sempurna saja itu dikatakan majnun, apalagi orang seperti

Amien Rais. Agama kita juga menyuruh kita untuk terus melakukan "melawan

kebathilan dan kemungkaran".


Kalau kita dikritik lantas surut, maka yang keenakan ya yang korupsi itu.

Menurut saya, era Amien Rais itu sudah berlalu. Belakangan saya banyak mengambil

i'tibar (pelajaran, red) bahwa pemimpin itu harus istiqamah, jangan sampai

terjangkit penyakit.


Oleh : LPNR-PB



0 komentar:

Blog List

Powered By Blogger

Other Links

Photobucket

Lencana Facebook

Blogger Links


Blogger Layouts by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Landscapes Design